contoh makalah matakuliah fiqih dengan judul materi "thoharoh: najis, hadats, alat thoharoh dan caranya"




KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puja dan puji kami haturkan pada Allah SWT. Yang telah memberikan limpahan nikmat, rahmat serta hidayah-Nya pada kita semua. Dan dengan pertolongannya maka kami dapat menyelesakan makalah ini walau banyak kekurangan disana-sini.
Kami buat makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih 1 yang telah diamanatkan Dosen Fiqih 1 jurusan PAI STIT AL-AMIN dengan judul “Thoharoh: najis, hadats, alat thoharoh dan caranya”.
Kami berharap makalah yang singkat ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, Amin.

Indramayu, 20 Februari 2018.


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... 1
DAFTAR ISI .................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 3
1.1     Latar belakang ................................................................................... 3
1.2     Rumusan masalah .............................................................................. 4
1.3     Tujuan ................................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 5
2.1     Thoharoh, pengertian dan definisi ..................................................... 5
2.2     Alat Thoharoh ................................................................................... 5
2.3     Najis dan cara mensucikannya .......................................................... 6
2.4     Hadats dan cara mensucikannya ....................................................... 7
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 11








BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar belakang
Kita ketahui bersama bahwa semua ibadah yang disyariatkan oleh islam memerlukan adanya tindakan permulaan yang dinamakan Thoharoh atau bersuci, ibadah-ibadah tersebut akan dinyatakan sah apabila telah melewati berbagai syarat dan rukun-rukun tertentu yang salah satunya adalah Thoharoh.
Thoharoh hampir bisa ditemukan pada setiap jenis ibadah yang akan kita lakukan, baik itu ibadah wajib ataupun sunnah. Thoharoh sendiri memiliki berbagai hukum, ada yang wajib ada juga yang sunnah, hukum Thoharoh dipengaruhi oleh ibadah apa yang akan kita lakukan, jika ibadah itu mensyaratkan kita untuk bersuci maka Thoharoh hukumnya wajib, namun jika ibadah itu tidak mensyaratkan kita untuk bersuci namun hanya menganjurkan saja maka Thoharoh tersebut berstatus sunnah.
Allah sudah berfirman dalam surat al-Waqi’ah bahwa:
Tidak boleh menyentuhnya (al-Qur’an) kecuali orang-orang yang bersuci (QS. Al-Waqi’ah : 79)
Ayat ini mengindikasikan bahwa untuk menyentuh kitab suci al-Qur’an pun kita diwajibkan bersuci terlebih dahulu.
Selain menjadi syarat untuk melakukan ibadah, Thoharoh juga dianjurkan bagi orang yang tidak melakukan ibadah karena salah satu firman Allah yang artinya:
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan besesuci membersikan diri (QS.AL Mudassir :4-5)


1.2         Rumusan masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
-          Thoharoh, pengertian dan definisi
-          Alat thoharoh
-          Najis dan cara membersihkannya
-          Hadats dan cara membersihkannya

1.3         Tujuan
Dengan adanya makalah ini kami berharap kita semua dapat mengambil kemanfaatan dan mengerti akan dasar-dasar dan tatacara thoharoh yang baik serta memahai tiap-tiap poin yang kami paparkan dalam makalah ini.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1         Thoharoh, pengertian dan definisi
Secara umum Thoharoh mempunyai arti bersih dari kotoran baik itu yang bersifat hissy (dapat dilihat dan dirasakan indra) maupun bersifat  ma’nawi (tidak dapat dilihat dan dirasakan indra) sedangkan menurut Ulama Ahli Fiqih Thoharoh berarti sesuatu yang menjadi syarat sahnya suatu ibadah[1].
Jika menilik dari definisi diatas sudah jelas bahwa ibadah apapun tidak akan sah kecuali dengan adanya Thoharoh, entah itu ibadah sunnah ataupun wajib.
Thoharoh sendiri mencakup beberapa cara dalam menghilangkan kotoran, thoharoh bukan hanya sekedar mandi dan wudlu untuk menghilangkan hadats tetapi lebih dari itu, thoharoh juga mencakup tatacara menghilangkan najis.

2.2         Alat Thoharoh
Umunya, kita mengetahui bahwa alat Thoharoh hanya air saja, namun sebenarnya ada beberapa alat lain yang dapat digunakan untuk Thoharoh diantaranya adalah batu dan debu, alat Thoharoh secara lengkap adalah:
a.              Air
Air banyak digunakan untuk melakukan Thoharoh karena memang air adalah alat paling umum dalam Thoharoh baik itu untuk berwudlu, mandi, mensucikan najis dan lain sebagainya. Jenis air yang boleh dijadikan alat Thoharoh pun bermacam-macam, diantaranya adaah:
-       Mata air
-       Air sumur
-       Air hujan
-       Air sungai
-       Air laut
-       Air salju/es
-       Air embuh
Semua jenis air yang disebutkan di atas adalah jenis air yang boleh dan sah digunakan untuk Toharoh, dengan catatan bahwa air tersebut merupakan air suci yang dapat mensucikan, karena ada juga air yang suci namun tidak dapat mensucikan seperti air musta’mal atau air yang telah digunakan untuk bersuci sebelumnya dan air tersebut kurang dari dua kulah (dimensi 60x60x60cm atau sekitar 200 liter).
b.             Debu
Debu biasanya hanya digunakan untuk menggantikan Wudlu saat tidak ditemukan air di wilayah itu, namun selain bisa digunakan untuk menggantikan wudlu debu juga bisa digunakan untuk menggantikan mandi wajib jika memang di wilayah tersebut tidak ditemkan air.
Sama seperti air, debu yang boleh dijadikan alat Thoharoh adalah debu yang suci dan tidak berstatus musta’mal.
c.              Batu
Batu tidak dapat menggantikan air dan debu untuk menghilangkan hadats, namun batu dapat menggantikan air untuk membersihkan najis saat seseorang membuang hajat (cebok).
Perlu diingat bahwa batu hanya dapat menghilangkan najis saat buang hajat saja (cebok), sedangkan jika najis itu bukan najis hajat maka batu tidak boleh digunakan untuk menghlangkan najis.

2.3         Najis dan cara mensucikannya
Menurut Syekh Salim bin Samir al-Hadromi, najis terbagi menjadi tiga yaitu Mugholadzoh, Mukhofafa dan Mutawasitoh[2].
a.              Najis Mugholadzoh
Najis Mugholadzoh atau najis besar/najis paling berat adalah jenis najis yang cara mensucikannya membutuhkan tambahan dibandingkan najis yang lain, jika najis lain cukup dengan membasuhnya sekali saja, maka najis Mugholadzoh harus dibasuh dengan tujuh kali basuhan air dan salah satunya harus dicampur dengan debu yang suci.
Jenis najis ini hanya terdapat pada hewan anjing dan babi, baik itu tubuhnya atau kotorannya, semua yang ada di badan kedua hewan tersebut dihukumi najis Mugholadzoh.
b.             Najis Mukhofafah
Berbeda dengan najis Mugholadzoh yang merupakan najis paling berat, najis Mukhofafah adalah najis yang hukum kenajisannya paling ringan. Dikatakan ringan karena untuk mensucikan najis Mukhofafah cukup dengan menghilangkan najisnya dan mencipratkan air ke area yang terkena najis.
Najis Mukhofafah hanya terdapat pada air seni bayi laki-laki yang belum berumur 2 tahun dan belum mengkonsumsi apapun selain asi, entah itu asi ibunya atau asi orang lain.
c.              Najis Mutawasitoh
Najis Mutawastoh adalah jenis najis yang kadar hukumnya berada di tengah-tengah, tidak berat tidak pula ringan.
Najis ini adalah najis yang berasal dari selain dua jenis najis yang telah diuraikan di atas, dan cara mensucikannya adalah dengan menghilangkan ‘ainiyah (bentuk) najis tersebut kemudian di basuh menggunakan air yang suci dan mensucikan.

2.4         Hadats dan cara mensucikannya
Hadats secara umum dapat diartikan sebagai keadaan dimana seseorang tidak akan sah melakukan suatu ibadah jika ia masih menyandang hadats, hadats sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti kotor atau tidak suci.
Para ulama membagi hadats menjad dua bagian, yaitu hadats kecil dan hadats besar. Kedua jenis hadats ini memerlukan tindakan pensucian yang berbeda yang akan diterangkan berikut ini:
a.              Hadats kecil
Secara singkat hadats kecil bisa dikatakan sebagai “sesuatu yang mewajibkan wudlu” atau “sesuatu yang bisa membatalkan wudlu”. Jika seseorang berhadats kecil dan ingin melakukan ibadah maka ia harus menghilangkan hadats kecil itu sebelum melakukan ibadah, entah dengan berwudlu atau bertayammum.
Diantara sebab-sebab hadats kecil adalah:
-       Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom  tanpa penghalang dan sama-sama berusia dewasa (kurang lebih usia 7 tahun)
-       Menyentuh alat kelamin baik itu alat kelamin sendiri atau orang lain
-       Keluarnya sesuatu dari lubang qubul dan dubur, entah itu berupa air, benda atau angin. Kecuali mani.
-       Hilangnya akal yang disebabkan gila, mabuk dan lain sebagainya

b.             Hadats besar
Jika hadats kecil mewajibkan wudlu, maka hadats besar adalah hadats yang mewajibkan mandi. Mandi untuk menghilangkan hadats besar dapat digantikan menggunakan tayammum dengan catatan tidak ditemukannya air di wilayah yang bersangkutan.
Tata cara tayammum untuk menghilangkan hadats besar sama dengan tayammum untuk menghilangka hadats kecil, hanya saja niatnya yang berbeda.
Penyebab hadats besar sendiri berbagai macam, syekh Samir merangkumnya menjadi enam yaitu:
-       Jima’ (hubungan suami istri) baik itu hubungan yang sah atau tidak.
-       Keluar mani, entah karena dalam keadaan sadar atau tertidur.
-       Haid bagi perempuan.
-       Nifas, atau darah yang keluar setelah seorang perempuan melahirkan, walaupun yang ia lahirkan hanya bayi yang masih berbentuk darah.
-       Wiladah (melahirkan) walaupun tidak diiringi dengan keluarnya darah nifas.
-       Meninggal[3]



BAB III
PENUTUP
Dalam uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kita sebagai umat islam harus mengetahui dan mengamalkan tatacara melakukan Thoharoh yang baik dan benar agar semua ibadah yang kita lakukan dikatakan sah. Karena jika cara Thoharoh kita salah maka semua ibadah yang kita lakukan tidak sah dan berimbas pada kewajiban kita untuk mengqodlonya dari awal.


DAFTAR PUSTAKA
-       Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-Haitami, manhajul qowim, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 2000.
Salim bin Samir al-Hadromi, safinatunnjah, Darul ‘ilm, Surabaya, 2008.


[1] Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-Haitami, manhajul qowim, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut-Lebanon, 2000. Hal 11.
[2] Salim bin Samir al-Hadromi, safinatunnjah, darul ‘ilm, surabaya, 2008, hal  38.
[3] Ibid. Hal 21-23

Comments

Popular posts from this blog

Asal usul nama Walank Kedehe

مقدمة